Minggu, Mei 24, 2009

Berkacalah Pada Sistem Pendidikan India dan Jepang

Mutu pendidikan di Indonesia harus terus dikaji dan dibandingkan dengan negara lain untuk terus ditingkatkan. Perbandingan ini dilakukan agar kita memiliki acuan untuk memperbaiki apa yang masih menjadi kelemahan kita?

Kalau kita ingin membandingkan mutu pendidikan Indonesia, kita mungkin bisa membandingkannya dengan negara tetangga yang masih berada di kawasan Asia, misalnya India dan Jepang. Jangan hanya merasa cukup berbangga diri ketika misalnya lebih tinggi dari Filipina, Timor Leste, atau Papua Nugini.

Salah satu negara yang akan membuat kita senantiasa ingin maju jika diperbandingkan dengan mutu pendidikan Indonesia adalah India. Pemerintah India dapat memberikan subsidi yang sangat besar di bidang pendidikan. Sebagai perbandingan saja, untuk seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah S-2 di India, biaya total dari awal hingga mendapatkan gelar master hanya USD600 atau sekitar Rp6 juta.

Itu sudah termasuk admission feedan tuition fee. Uang Rp6 juta itu pun karena dia dianggap sebagai mahasiswa asing yang harus bayar lebih mahal. Untuk warga negara India sendiri, mereka hanya membayar Rp40.000 untuk kuliah S-2 setahun. Dibandingkan dengan di Indonesia, untuk program S-2 yang sama, satu semester saja bisa menghabiskan Rp50 juta.

Tentu perbandingan biaya ini sudah sangat besar. Selain itu, Pemerintah India juga memberikan subsidi kertas sehingga harga buku-buku bisa sangat murah. Pemerintah India melakukan kerja sama dengan penerbit-penerbit luar negeri seperti Penguin Books sehingga mereka dapat mencetak buku di India.

Tentu saja, sistem itu membuat harga buku-buku asing itu menjadi lebih murah. Buku-buku di India paling mahal hanya Rp10.000. Bandingkan saja dengan para pencinta buku di Indonesia yang harus mengeluarkan uang jutaan rupiah hanya untuk memberi beberapa buku impor saja.

Selain itu, akses buku-buku asing juga sangat terbatas sehingga keterbatasan akses informasi dan buku turut memengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Harga majalah juga sangat murah di India sehingga untuk berlangganan sekitar tiga majalah, mereka hanya membayar 110 rupee atau sekitar Rp22.000.

Adapun untuk pelajar, mereka mendapatkan kartu abonemen yang harganya 50 rupee atau sekitar Rp10.000 yang dapat digunakan untuk naik bus pemerintah secara gratis, selama empat bulan, ke mana saja. Kartu abonemen itu berlaku untuk pegawai negeri, tentara, manula, dan orang cacat.***

Negara Asia lainnya yang dapat dibuat perbandingan ialah Jepang. Memang, Jepang mengalami kemajuan di bidang pendidikan karena ekonominya turut membantu kemajuan mutu pendidikan. Namun, tetap saja Jepang menjadi cermin yang cukup baik untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

Wiliam K Cummings berpendapat bahwa keberhasilan Jepang memajukan pendidikan karena beberapa faktor, yakni perhatian terhadap pendidikan muncul dari berbagai pihak, biaya pendidikan di Jepang tidak mahal, tidak ada diskriminasi terhadap sekolah-sekolah tertentu.

Selain itu, kurikulum sekolah di Jepang sangat berat, sekolah juga menjadi bagian penting dari pendidikan, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan, guru penuh dedikasi, guru memiliki kesadaran wajib memberikan pendidikan "manusia seutuhnya", serta guru di Jepang dapat bersikap adil terhadap seluruh anak didiknya.

Dari berbagai faktor itu, kita bisa mengamati beberapa kendala pendidikan di Indonesia, salah satunya kurangnya jumlah tenaga pengajar. Jumlah pendidik dan tenaga pengajar di negeri ini belum memadai untuk memenuhi kebutuhan sekolah di seluruh pelosok Tanah Air. Misalnya saja, untuk sekolah dasar (SD), terdapat 150.921 SD negeri dan swasta, tapi jumlah guru yang tersedia hanya 1.158.004 orang.

Jika dibandingkan dengan Jepang, pada 1999, di sana terdapat 11.220 SD dengan jumlah pengajar sebanyak 262.226. Jika dibandingkan, jumlah guru untuk satu SD di Indonesia 8 orang per sekolah, sementara di Jepang 23 guru per sekolah. Angka ini akan lebih mencolok lagi jika dibandingkan dengan jumlah murid.

Persebaran guru di Indonesia juga belum merata ke pelosok daerah. Komposisi pendistribusian guru dan tenaga kependidikan masih menumpuk di perkotaan, sedangkan daerah pedesaan dan terpencil, masih kekurangan tenaga pengajar. Karena itu pula, masih terjadi ketidakseimbangan antara jumlah guru dan kebutuhan di lapangan.

Tentu saja karena faktor kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan kesehatan serta sosial yang masih kurang diperhatikan pada tenaga pengajar, maka minat seseorang untuk menjadi guru masih relatif sedikit karena dianggap sebagai profesi yang kurang menjanjikan kesejahteraan hidup.Dalam masalah kurikulum, penerapan kurikulum di Jepang memang cukup berat standar keberhasilannya. Tentu saja wajar karena kemampuan kognitif dan motivasi siswa di sana memang tinggi. Saat standar yang tinggi itu diterapkan, misalnya dalam syarat kelulusan Ujian Nasional, banyak pihak di Indonesia masih keberatan dengan berbagai alasan.***

Indonesia perlu berbuat lebih maksimal dari sisi peraturan perundang-undangan dan struktur pendidikan. Artinya, deregulasi dan restrukturisasi bidang pendidikan yang dilakukan harus memperhatikan empat aspek, yakni orientasi pembelajaran siswa, profesionalisme guru, akuntabilitas sekolah, serta partisipasi orangtua peserta didik serta masyarakat dalam pendidikan.

Diharapkan, restrukturisasi semacam itu dapat meningkatkan komitmen dan kompetensi guru serta murid untuk berprestasi. Dari sisi tenaga pengajar, kualitas, kinerja, dan penghargaan terhadap guru harus lebih ditingkatkan. Guru memegang peran penting dan sentral dalam proses belajar mengajar.

Itu berarti guru menjadi jantung dan denyut nadi pendidikan itu sendiri. Bahkan bagi banyak pelajar, guru kadang lebih dihormati dibandingkan orangtua kandung karena guru masih dianggap sebagai perwujudan teladan yang baik dan memahami banyak ilmu pengetahuan. Karena itulah, peningkatan mutu pendidikan harus dipastikan selalu selaras dengan penghargaan terhadap tenaga pengajar.

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sebenarnya telah disadari pemerintah. Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa dilihat dari peringkat negara, kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-160 dunia dan urutan ke-16 di Asia. Secara rata-rata, kualitas pendidikan di Indonesia masih berada di bawah Vietnam.

Bahkan Jusuf Kalla pernah mengatakan, jika dibandingkan antara mutu pendidikan nasional saat ini dan mutu pendidikan pada 1960-an, kualitas pendidikan 40 tahun silam masih lebih baik dibandingkan saat ini.

Dengan berkaca pada India dan Jepang, kita berharap mutu pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa ini akan semakin tertinggal dari negara-negara lain di berbagai bidang.(*)

Prof Dr I Made Putrawan
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Sumber : Okezone

Tidak ada komentar:

Posting Komentar